Tips agar laki-laki tidak lama single sehingga tidak toxic online & offline

Juga termasuk tidak bikin akun anonim.

Windyasari Septriani
9 min readOct 17, 2023

Terlihat sepele dan ngga penting. Tapi kalau diresapi kamu pasti tahu hal ini bisa menyelamatkan sekelompok atau banyak orang. Note: single di sini bukan yang disengaja ya.

Photo by Jake Hinds on Unsplash

Koq jadi bukan desain-desain bahasannya?

  1. Ngga melulu nulis blog soal desain walaupun di Medium.
  2. Walau lagi pengen dan ada ide, masih bisa terwakili oleh banyaknya penulis tema desain lainnya dalam dan luar negeri, jadi ngga akan missing-missing amat ketika kita nulis tema lain. Kecuali kalau kitanya yang emang pengen nulis itu. Lagian kenapa juga harus nulis desain terus.
  3. Urgent. Adab dulu baru ilmu. Pernah denger? yang pernah atau masih belajar agama pasti familiar. Walaupun beberapa ustadz bilang adab itu ya bagian dari ilmu juga dong.
  4. Tema ginian mana ada di perdesainan Indo. Kalau ada, saya happy. Kebanyakan bodo amat.
Sukur-sukur jika mau disimak, bentar koq.

Umm, … oke sih ini sebenarnya yang bikin akun anonim hanya asumsi saja bahwa mereka single, tapi secara logika sih seperti itu. Minimal belum nikah. Beda ya pacaran dan nikah itu jauh sekali. Apalagi belum ada anak. Tapi yang menikah dan berkeluarga pun sebetulnya bukan berarti sudah bersih dari toxic, hanya saja bisa diminimalisir. Minimal dia akan diam ketika ada perkara, nyumput. Cari aman. Tapi ini dalam Islam pun diam yang buruk sih, tapi sudahlah. Diam walau hatinya mendukung ketoxican tsb, tapi saya ngga akan bahas itu lah. Udah ngga ketolong itu sih, dan urusannya sama Allah saja kalau urusan hati. Tapi semoga tidak ada.

Umm, … ini hanya terkait dari sisi kacamata saya sebagai wanita, which almost 40. Jadi udah lumayan familiar soal rumah tangga. Jangankan urusan RT, urusan akhirat aja sudah di-warning dalam Islam. Walaupun usia ngga jadi patokan kedewasaan, maksudnya sudah banyak waktu yang dilewati. Apalagi jika sudah berkeluarga.

Dan idealnya saya tentu melihat dari sisi kacamata syariat. Hanya saja kalau saya secara langsung nulis tips yang langsung mengarah ke syariat akan terlalu loncat ya. Karena pelaku toxic atau akun anonim biasanya kebanyakan ngga familiar sama syariat. Adapun familiar, dia terpengaruh lingkungan online dan masih muda, masih gamang, masih labil. Sebetulnya bisa dihindari koq kalau sudah tahu ilmunya dengan ibadah rutin misalnya, … jadi syetan pun ngga betah-betah amat. Ya, saya juga berjuang bukan berarti sudah yakin selamat, tapi itu sih standar ya, kalau jarang mengaji, jarang mendengarkan ceramah/kajian, ngga pernah dzikir ya itu standar lah pasti syetan betah walaupun dia udah tahu ilmunya dari IG.

Langsung aja … saya harap ini berguna walaupun mungkin ngga akan dibaca oleh pelaku-pelaku toxic karena sudah beda circle, tapi diharapkan bisa meminimalisir sebisa mungkin, … agar tidak sampai menjamur pelakunya. Karena ini nyata perilaku ini diikuti orang-orang khususnya anak muda, walau mungkin kalau setoxic ini ngga banyak sih. Namun khawatirnya korbannya yang banyak.

Harta dan penampilan saja tidak cukup

Ini kan tujuannya nikah ya, kalau kita bicara usia 30an. Kecuali masih belasan, atau 20an, masih ada kemungkinan main-main dulu, tapi dalam Islam ngga ada istilah main-main dulu usia berapapun, adanya perkenalan/ta’aruf itupun sangat dibatasi akses komunikasinya, lho (kalau yang sesuai dengan syariat).

Kalau saya sebagai perempuan ya, let’s say ngga syari-syari amat (karena kalau syari jelaslah dilihat imannya, karakternya sudah pasti). Walaupun kamu punya posisi mentereng didukung penampilan yang not bad, or good looking, tapi kalau karakternya dikenal toxic walaupun banyak fansnya (dimana biasanya itu fansnya masih pada kecil-kecil usianya dan fans toxic ‘tu biasanya juga laki-laki, jadi demen sama karakternya yang tampak powerful dan suka menyerang, bukan perempuan biasanya kalaupun banyak fans), itu saya pasti mikir dulu 1000x. Menikah itu idealnya kita mimpinya hanya sekali walaupun jodoh Allah yang atur. Tapi siapa sih yang mau cerai, kan. Lalu apa kejayaannya itu bisa dibagi dengan pas dengan kita sebagai istrinya? pelitkah karena dianya toxic? walaupun dia misalnya ngga pelit, kita jadi takut karena dia toxic. Lalu apakah saya akan diserang juga kalau lagi ribut? seperti dia menyerang orang-orang lainnya di internet? Kecuali kalakuanmu tertutup, ngga ada yang tahu, tapi tetep saja nanti ketahuan.

Sebenernya itu aja ngga, sih tipsnya hehe…kek udah jelas gitu selain harta dan penampilan ya pasti attitude kan.

Oh iya, saya pernah baca postingan yang bilang, kalau kita sering ngatain toxic karena kata tsb trend misalnya, bisa jadi kita yang malah toxic. Hadeuhhh, sebenarnya kalau kita tahu norma dan agama, sih toxic itu sebuah kemutlakan ya, tinggal apakah kita pernah dan sering menyakiti orang? itu aja sih, simpel. Menilai toxic itu beda dengan menilai cantik atau ganteng. Toxic itu mutlak yaa..ya cantik/ganteng juga ada sih yang mutlak, tapi kan yang relatif juga banyak banget.

Penyayang dan tulus

Sebenarnya ini lebih kaya bonus sih karena namanya laki-laki walaupun penyayang justru belum tentu kelihatan dari perkataannya koq dan jangan dibuat-buat juga apalagi dipublish. Ok lah dipublish misal karena lagi ada yang seru aja buat difoto gitu, tapi kalau ke yang lain kelakuan si cowoknya menyakiti ya jadi kaya palsu. Apalagi kalau penyayangnya hanya ke -maaf- pekerja-pekerja atau orang tertentu yang tidak perlu banyak mikir, lebih ke pekerja tenaga (ngerti kan ya), yang dia tahu ‘ni orang kemungkinan besar ngga bakal jadi keliatan lebih pintar daripada dirinya dan ngga ada di circle dirinya juga. Misal dia sangat baik pada tukang bakso lalu dipublish. Tapi di sisi lain sering menyerang yang profesinya masih di bidang yang sama kaya dia. Ya gimana ya, cewek juga mikir sih. Kan dia juga kemungkinan akan PDKT sama cewek yang masih di circle nya atau setara kan, bukan anaknya tukang bakso? walau bukan berarti ngga mungkin dan tanpa maksud mendiskreditkan, tapi kita bahas yang realita aja ya, jangan diambil semua data termasuk yang hanya 1–2 kasus. Apalagi kalau datanya fiktif dari film Korea misalnya. Lagipula kalau konteksnya tukang bakso bisa saja pengusaha bakso kan, tapi ngerti kan ya maksudnya. Kalau saya ngga pake analogi ini sulit soalnya.

Akun anonim bikin ilfil

“Sayang, tahu ngga akun itu sebenarnya adminnya gue.”

“Haaahh?? Apaaaa??!”

Saya ngga tahu ya apa akan ada cewek usia cukup matang, siap nikah, biasanya middle 20an lah ya … yang suka sama akun ginian dan ditambah suka sama adminnya. Ngga ngerti sih. Kalaupun ada mungkin sebatas nyimak aja bukan untuk dinikahin. Tapi kalaupun ada, ya berarti cocok in negative ways. Ngga kebayang gimana didik anaknya nanti. Ya kalau paham syariat pasti tahu lah kenapa-kenapanya, kalau akun anonim tapi isinya tuh bully, marah, nyerang, jelekin-jelekin pihak lain dibalut insights, yaa …, insights kan ngga mesti gitu caranya, kecuali memang udah niat di awal ingin naikin followers, tapi jadinya apa bedanya dengan marketing-marketing yang licik dong, yang kalau jualan terkesan lebay. They need help. Really.

Anak-anak muda lainnya ini yang malah tertarik, memfollow karena mungkin dia ngga kena, dan namanya juga orang Indonesia emang suka keributan ya, pantas aja Netflix bikin film Ice Cold terlepas dari kebenarannya gimana. Tapi koq tersangkanya bisa-bisanya sempat nonton film The Hateful Eight dulu sebelum dituduh membunuh dimana ada adegan kopi diracun dengan cewek tahanan yang selalu tenang dan senyum namun berbahaya? ah, sudahlah bukan urusan kita tapi kadang menggelitik ya. Kalau yang ‘Indonesia banget’ kan dia mudah tergiring sudah sama Netflix dan langsung rubah opini. Bahkan hingga memuji-muji Jessica-nya sampe muji ke fisiknya, dong. Konteksnya udah hilang gitu lho, bukan ngga setuju sama pendapat ‘cantiknya’. Kalau saya sih ngga seberani itu untuk cepat beralih pendapat walau ngga mau jadi yakin membela korban juga, kan ngga tahu. Jadi ngga grasak grusuk gitu. Mudah digiriiiing aja, kaya mudah disapu. Kita tuh, … Indonesia. Generasi muda.

giriing goreng, giring goreng…itulah negaraku.

Update:
Ternyata jika melihat dan menonton yang dibully tanpa mencegah, menolong dan bertindak apapun hukumnya sama dengan membully itu sendiri dalam Islam.

Seolah kecowok-cowok-an padahal itu kecewek-cewek-an bahkan lebih ‘cewek’

Memang entah kenapa pelaku toxic ini kebanyakan cowok. Tapi kalau dibahas ya rata-rata masih single ya, belum menikah apalagi kalau konteksnya online bullying. Ada juga sih cewek, tapi konteksnya ngga sampe ke online untuk menyakiti orang gitu biasanya.

Di luar negeri juga yang jadi bahasan gini tuh cowok sih, makannya cewek-cewek di sana suka ribut sama cowok-cowok yang suka nyerang online. Kalau di sana kan kompak, berani speak up. Di sini kan kaya pada takut, kaya ngga berani aja gitu ngomong. Tapi di sisi lain juga pada doyan nyimak keributan. Standar sih biasanya orang-orang kaya gini berarti kebanyakan orang yang memang seperti itu, orang yang sisi negatif-nya ngga bisa dielakan tapi juga ngga mau ambil resiko, dan biasanya nothing really special with them (yang suka nyimak keributan tanpa rasa empati), kalau tipikal orang Indonesia banget tapi dalam hal negatif, tipikal-tipikal pendukung netflix tepat setelah 2 jam dibujuk setelah nonton, berarti dia termasuk golongan umum yang standar dan ngga ada yang spesial dari dirinya. Bukan soal dukung siapa, tapi ngga perlu lebay dalam membela tersangka, itu artinya sangat mudah digiring dan Netflix berhasil. Kalau untuk sekedar re-consider pemikiran sih masih wajar banget. Karena kalau dia bisa lebih baik dari itu, seharusnya dia punya prinsip yang kuat. Maka belajar syariat itu bisa membantu agar tidak terjerumus dan tergiring jadi template yang negatif walaupun banyakan.

Dan padahal sebetulnya kelakuan gini tuh jauh dari sikap gentle, bahkan secara harfiah. Biasanya mereka kalau mau diajak ngobrol langsung atau DM, itu diam aja, atau lama-lama menghilang, ghosting, karena mungkin bingung jelasin apa lagi, karena sudah telak salah dan itu faktanya. Karena ngga tau deh mentalnya gimana. Padahal gue aja berani. Apa karena gue merasa ngga salah ya atau misal sebagai korban kita jelas ngga salah jadi berani?? tapi bukannya kalau merasa berani menyakiti orang di publik itu harusnya lebih berani ngobrol 4 mata? mungkin psikolog lebih tahu ya soal ini. Perhatikan kembali ya jangan salah kaprah sikap gentleman itu kaya apa. Apalagi kalau sasarannya cewek, astagfirulloh … waduh…ngga ketolong ih. Ada masalah apa sih mereka dalam hidupnya? Harus dibenerin itu.

Kalau anak muda itu memang, uumm … bosan sih bilangnya … memang masih tergiur dengan duniawi, harta. Ya paham sih, tapi bisa ngga tergiur nya sama yang positif aja gitu. Walaupun di bidang yang sama. Saya lihat sih banyak koq anak-anak muda netizen yang waras, mencerca hal-hal seperti ini dengan lantang di Twitter/X menyatakan ngga suka dengan tegas bahkan bilang cocoknya unfollow/block (wow, masya Allah I’m amazed and thank you!!!) , tapi kek nya kebanyakan bukan designer deh 🤔🤔🤔🤔. Banyak lho itu, namanya juga balasan-Nya, cuma ya itu, kayanya kebanyakan bukan designer jadi pada berani. Tapi saya ngga membenarkan yang sampai berkata-kata kasar ya. Kalaupun terjadi itu kehendakNya sudah.

Apa yang dimiliki disyukuri

Kalau dalam syariat mah yang gini ngga usah dijelasin ya, paling diasah aja sama kajian, tilawah, jadi apa yang udah dipelajari masuk ke hati. Karena bersyukur itu memang ngga mudah, kak … kalau imannya tipis apalagi kalau ngga tahu ilmunya, ilmu syariat.

Apalagi jika sudah berlimpah harta dan posisi, apa susahnya jadi orang baik walaupun bidangnya sama, jadi bukan cuma baik ke tukang bakso dan semisalnya aja. Kalaupun misal kecewa pada wanita soal percintaan, itu justru balik lagi muter nih, ke kelakuan cowoknya tadi di atas. Jadi muter-muter kan. Waktu terus berjalan, menikah, bersyukur, tenang itu udah paling bener. Ya saya sih emang gampang bilang gini karena usia udah ngga pantes untuk banyak maunya, cuma ya masa harus nunggu usia segini dulu. Dengan bersyukur pun kita jadi ngga hasad/iri. Kalaupun kita ingin sesuatu cukup fokus belajar dan berusaha serta berdoa dan serahkan segala keputusan pada-Nya, jangan protes, jangan jadi menyakiti orang, duh. Ngapain jelekin orang ketika kita iri? gajinya tetep naik, kitanya tetep gini aja. Ini untuk akun-akun anonim ya.

Ok, deh ngga perlu panjang-panjang. Sebetulnya saya kaya nulis nyampein materi anak Taud (taman kanak-kanak) Islam. Yah, gimana lagi. Faktanya begitu.

PS:

Ini tambahan aja, jadi laki-laki itu harus tahu yang gini-gini nih yaitu ada berita viral soal ibu yang terkena sindrom baby blues (googling ya). Mungkin ngga terlalu berkaitan dengan menjadi toxic, tapi kalau kamu toxic gimana bisa ngadepin yang gini-gini walau ngga semua ibu mengalaminya atau akan beda-beda levelnya. Makannya wanita itu. kalau dia paham akan bener-bener milih karakter calon pria yang dirasa aman. Atau adalah heran koq bisa-bisanya jika laki-laki, single pula tapi suka menyerang termasuk menyerang ibu-ibu, lewat apapun caranya. Wah, padahal menjadi ibu itu tidak semudah itu ya walau terkesan semua cewek otomatis bisa jadi ibu. Apa ngga dipikir ya gimana kalau lagi hamil, gimana kalau anaknya lagi sakit, dll. Duh, saya ngeri sendiri ngetiknya. Betapa empati orang setipis itu. Dan bukan ngga mungkin keburukan akhlak ketika dewasa itu bisa juga faktornya kurangnya perhatian dan didikan ibu ketika kecil yang ditambah minimnya pemahaman syariat. Berikut link terkait soal ibu-ibu yang terkena baby blues pasca melahirkan.

--

--

Windyasari Septriani

Product & Web Designer, mother of 2, Prev Depict.ai, mainteny.com, Bukalapak - ig @infodkv & tanyajawab_ux