Sebelum perusahaan menginginkan desainer yang juga ngoding, mungkin hal ini bisa jadi pertimbangan.
Dalam dunia desain khususnya desain digital/teknologi, yang pada umumnya mendesain website dan mobile apps, hal ini sudah menjadi pro kontra terutama pada artikel-artikel luar berbahasa Inggris. Alasan saya menulis blog ini bukan ingin memerangi salah satunya seperti rata-rata blog yang ada dalam membahas soal ini lagipula toh tak akan berujung dan sudah ada juga. Dan pada kenyataannya kebutuhan perusahaan itu beda-beda, begitupun culturenya. Saya selalu melihat segala hal dalam 2 sisi. Walaupun saya memiliki pendapat dan pilihan tersendiri dan ada kencederungan memilih yang mana. Namun saya bermaksud menulis blog ini adalah sebagai pertimbangan bagi perusahaan (kalau-kalau ada pihak perusahaan yang baca hehe…) atau bagi desainer itu sendiri agar dalam memutuskan hal ini tergantung kebutuhan dan goals saja. Jangan sampai ingin goalnya ini dan sebenernya ngga butuh anu, tapi pengen ada ini dan itu juga, yang sebenarnya ternyata ngga perlu. Akhirnya kinerja ngga efektif.
“Kekerenan kinerja itu dinilai dari keefektifan dan tercapainya goals, bukan ikut-ikutan atau serba ada. “
Jadi tidak bisa juga kita menyalahkan 100% salah satunya (antara perdebatan mengenai desainer yang bisa coding dan tidak). Perusahaan memiliki hak penuh atas persyaratan yang diinginkannya terhadap calon kandidat yang dicari. Walaupun kadang kalau terlalu gado-gado persyaratannya dan mengharapkan bisa mendapatkan kandidat yang skillnya palugada (apa yang lu mau gua ada) tampaknya jadi terlalu sadis dan hampir mustahil dimiliki olah kandidat. Di sisi lain kalau sekedar soal desainer yang bisa ngoding (misal hanya HTML & CSS saja), ya ngga sedikit juga yang bisa, tapi juga ngga sebanyak yang ngga bisa, karena memang UI/UX Designer rata-rata awalnya Desainer Grafis -pernah baca di artikel bagian ini, tapi lupa sumber linknya- selain itu saya baru saja menemukan twitt yang senada hari ini, di twitt dari sebuah event desain di Atlanta, US #HOWlive
Tapi ya masih terkesan agak manusiawilah persyaratannya. Toh pada akhirnya yang apply yang bisa dan mau saja.
By the way, istilah desainer yang bisa ngoding biasanya bahasa gaulnya di luar negeri adalah unicorn atau jack of all trades. Atau antara desainer yang juga ngoding disebut generalist dan desainer yang tidak ngoding disebut spesialist. Kaya dokter :) tapi sayangnya cuma lingkungan teknologi dan kreatif doang ya yang familiar dengan istilah generalist & specialist di sini, ngga seperti istilah di kedokteran, as always.
Dan kenapa bisa jadi pro kontra karena desain dan koding itu seperti berkawin secara fungsional namun sangat bertolak belakang secara teknis jika dijalankan oleh satu orang yang sama. Tidak seperti di dunia advertising atau graphic design agency. Perkawinannya itu antara desain dan copywriting alias desain & text / slogan. Which is lebih mungkin dijalankan oleh 1 orang (lebih dikerjakan oleh desainernya sih tapi, bukan sama copywriternya itu juga).
Rata-rata seperti kita tahu desainer basiknya suka seni dimana itu bertolak belakang sekali dengan matematika dan hal-hal teknis sejenisnya. Saya sendiri ngga suka matematika, I really sucks at math. Tapi bagusnya ada sebuah lowongan untuk desainer di luar negeri yang mensyaratkan “gagal di matematika namun bagus di kelas seni” 😁
Begitupun developer, tidak jarang yang maksain mendesain web/mobile/software dengan berbekal sedikit (ataupun bahkan jika itu banyak) pengetahuan soal teknis software desain seperti Photoshop namun desainnya ngga banget karena ngga paham arti desain yang sebenarnya, hanya mahir software, sehingga mereka tak jarang cari partner desainer beneran juga. Jadi sebenarnya sama-sama saling membutuhkan. Sedangkan ngga sedikit perusahaan menginginkan kandidat yang jago skill di keduanya sekaligus. Sayangnya -saya dalam hal ini sebagai desainer kebetulan- yang membahas soal ini lebih banyak atau bahkan 100% terkait hanya mengenai designers should/shouldn’t code saja bukan developers should/shouldn’t design. Agak aneh memang, namun kalau diperhatikan lagi memang sialnya desain itu seperti dianggap ‘mudah’. Secara teknis mungkin ya, tapi yang sulit justru bukan teknisnya kalau di desain. Bagaimana pun akan berbeda hasil pemilihan font desainer dengan yang non desainer walaupun caranya sama dan jelas mudah secara teknis. Gitu lho. Memang ngga terlalu sedikit juga desainer/developer yang bisa keduanya, yang saya yakin kemampuan otaknya seimbang, berbeda dengan yang dominan salah satu -saya ngga bilang soal otak kiri kanan-, tapi di sini saya tidak sedang membahas itu (unicorn) sih, maaf hehe…
Berbagai macam alasan dikemukakan pada masing-masing kedua pendapat ini mengenai Designer should code & Designer shouldn’t code dan dari berbagai artikel beserta respon-responnya yang telah saya baca, kira-kira alasan-alasan tersebut seperti ini, namun tentu belum tentu 100% benar, karena semua ini hanya pendapat, bukan dalil:
Designer should code karena:
- Tidak ada alasan negatif atau larangan bagi seseorang yang memiliki skill lebih atau yang ingin belajar skill lain.
- Desainer seharusnya tahu dan bisa mengerjakan cara bagaimana karyanya bekerja. Tak sekedar mendesain. (dalam hal ini karya website, mobile apps, software).
- Agar dapat lebih bersaing di dunia desain digital dan teknologi.
- Menguntungkan karena memiliki skill lebih, baik dari sisi pribadi maupun sisi bisnis desainernya. Ngga mesti cari partner developer kali ya. Sehingga lebih cepat dan mudah mendapatkan klien.
- Terasa lebih afdol ketika desainer bisa juga langsung membuat at least prototype desainnya langsung dengan coding. Terasa komplit. Kaya sepaket.
Designer shouldn’t code karena:
- Akan lebih baik ketika desainer fokus pada desain saja. Jikapun belajar di luar desain itu sebaiknya mengenai bisnis dimana itu masih esensi tugas sebagai desainer juga. Bukan hal teknis soal bagaimana agar desainnya bisa jalan dan dipergunakan yang memang bukan hal yang sederhana secara teknis. Cukup bikin ngjelimet buat rata-rata desainer yang sukanya seni, bukan matematika/teknis. Jadinya seperti mempersulit hidup kesannya yang padahal ngga harus juga.
- Sesuatu yang lebih fokus akan lebih baik daripada yang general. Karena yang general itu hanya intisarinya saja rata-rata, tidak mendalam semuanya. Contoh kita kalau sakitnya serius cenderung memilih untuk pergi ke dokter spesialis ketimbang dokter umum. Kecuali sakit ringan atau kecuali kalau ngga ada pilihan lagi pas sakitnya tengah malam misalnya, mau ngga mau ke dokter jaga. Atau ada istilah lain dari sebuah blog di luar, bahwa pisau lipat serba ada dan bentuknya kecil-kecil itu tidak lebih baik daripada pisau dan gunting beneran secara terpisah-pisah tersendiri.
- Tidak perlu desain & code oleh 1 orang, seharusnya dikerjakan secara bersama-sama/team bersama developer dengan komunikasi yang baik. Jadi lebih baik kerja team daripada sendiri.
- Lebih menghemat waktu. Karena koding memang bukan hal yang dapat dikerjakan dengan singkat namun di sisi lain itu teknis, bukan konsep atau eksekusi ide. Daripada desainer setelah mendesain lalu ngoding lama, lebih baik diserahkan langsung ke developer sehingga desainer bisa fokus mendesain projek/halaman selanjutnya.
- Sebenarnya koding itu teknis, bukan desain dan sangat-sangat sudah pasti bisa dikerjakan oleh developer. Jadi dalam hal ini, walaupun yang tidak setuju dan menganggap desainer harus juga tahu dan bisa cara mengerjakan dan menjalankan desainnya agar dapat digunakan (a.k.a coding), di sisi lain itu sudah di luar desain ranahnya -bagi yang setuju-. Desainer jika ingin memastikan apakah kodingnya bekerja sesuai dengan desainnya atau tidak, bisa dikomunikasikan dengan developer. Bukan lepas tangan begitu saja setelah menyerahkan desain dan asset/image slicing ke developer.
Kalau kita lihat beberapa alasan tersebut (dan mungkin lebih banyak lagi alasan di luar sana), sama-sama kuat dan bisa saja benar keduanya. Bagaimanapun desain bukan ilmu pasti, maka jangan heran sering ditemukan kasus pro kontra seperti ini.
Saya sendiri posisinya desainer. Pekerjaan saya full desain. Full software desain saja. No coding. Dan apakah saya bisa ngoding sebagai desainer? boleh dibilang tidak, tapi saya cukup mengerti cara kerja ngoding. Hal inilah yang dianjurkan oleh yang pro terhadap designer shouldn’t code. Mengerti cara kerja tidak berarti harus mengerjakannya. Kenapa saya bisa mengerti? Karena saya pernah belajar ngoding tahun 2010 di perusahaan IT di Bandung tempat saya bekerja saat itu yang sudah bangkrut. Namun saat itu selama saya bekerja 1 tahun disitu (selama 1 tahun itu juga perusahaannya berdiri dan langsung bangkrut), seingat saya hanya sempat belajar saja, tanpa diaplikasikan ke projek beneran di perusahaan tsb. Karena ya bangkrut, projeknya ngga ada. Tapi saya sempat mengaplikasikannya ke projek freelance, berhasil membuat dan menyusun 1 halaman website dari desain buatan saya dan saya coding sendiri.
Saya juga diajari teknis slicing di Photoshop (PSD). Bagaimana teknik memotong-motong elemen pada mockup desain web di PSD untuk dapat disatukan kembali dengan koding, saat itu programming/coding masih traditional, belum secanggih sekarang maka slicing dari desainernya harus mendetail. Dengan saya tahu saat itu cara koding dan slicing walaupun setelah itu saya ngga pernah ngoding lagi sama sekali di perusahaan-perusahaan selanjutnya hingga sekarang dan akhirnya lupa lagi, at least saya mengerti cara kerja koding secara garis besar. Kalau slicing di PSD doangnya sih lumayan selalu kepake kerjaan selanjutnya buat diserahkan ke developer asset-assetnya. Dan itulah yang sebenarnya wajib diketahui oleh desainer UI/UX. Belajar ngoding sah-sah saja bahkan cenderung dianjurkan tapi bukan untuk ngerjain coding, hanya untuk mengerti saja. Ini menurut artikel-artikel yang pro Designers shouldn’t code. Saya berpikir hal yang sama dan akhirnya menemuka beberapa sumber yang mengemukakan pendapat yang sama:
What we should be saying is that we need more designers who know about code. -Jesse Weaver
Maybe what’s needed is someone who understands code but doesn’t necessarily live in it. -MARCIN TREDER, RYAN THOMAS RIDDLE, AND JERRY CA
I’ll start by saying that there’s a difference between “should not code” and “should not know how to code.” — Sagi Shrieber
Sejak saya pernah kerja di kantor yang bangkrut itu pula saya mulai suka dengan desain website. Jadi walaupun punya pengalaman kerja di kantor bangkrut dengan gaji yang sangat kecil saat itu, ternyata itu merupakan langkah awal saya menjadi UI/UX Designer hingga sekarang. Passionnya jadi di ranah ini daripada desain print. Dan itu menguntungkan ketimbang jika saya di ranah desain grafis melulu 100% di era yang jauh lebih serba digital sekarang ini jika dibandingkan dengan tahun 2010 saat itu.
Berdasarkan bekal kisah saya saat itu dan bekal saat saya kerja di agency based bertahun-tahun dan membandingkannya dengan cara kerja saya di perusahaan startup sekarang (tanpa ngoding, bahkan interviewernya bilang ke saya, “You don’t need to code here and I bet you don’t like it” sambil tertawa), saya jadi berpikir, sebenarnya perusahaan-perusahaan yang ingin desainernya bisa ngoding itu benar-benar perlu karena pekerjaan numpuk terutama yang agency based atau ikut-ikutan saja atau ingin hemat pengeluaran? hehe….Soalnya berbeda sekali sistem kerjanya dengan saat saya kerja di startup. Memang selama saya kerja di agency juga saya ngga ngoding, tapi saya menemukan juga beberapa dan memang ngga sedikit yang mengharuskan desainer bisa coding. Atau setidaknya perusahaan-perusahaan suka bertanya pada desainer saat interview apakah bisa coding, padahal jelas misalnya di resumenya tidak tercantum skill coding atau sudah disampaikan sebelumnya oleh desainernya bahwa dia tidak bisa coding beberapa kali tapi tetap saja ditanya apakah dia bisa coding. Saya mencoba menilik-nilik kenapa bisa berbeda antar perusahaan.
Memang sih tempat saya bekerja sekarang ini startup 100%, tidak menerima projek dari klien sama sekali. Makannya mungkin proses desainnya bisa agak sedikit longgar waktunya. Kliennya mereka sendiri kan. Kalau agency based sih, memang menurut pengalaman saya, cepat alur kerjanya. Kliennya beragam pula dan selalu dideadline. Maka seringkali yang utama bagi desainer kalau di agency based bukan solve problem-solve problem amat, tapi gimana biar cepat beres dan bagus dilihat (ingat, maksudnya ngga semua agency ya hehe…). Karena kondisinya ya memang memaksa untuk seperti itu. Sedangkan saat saya kerja di startup, assignment-assignmentnya yang dipasang di sebuah website projek manajemen, itu semua tanpa deadline! Tapi ya tetap disiplin dan tahu dirilah, kerja remote tanpa deadline bukan berarti kerja seenak udel tanpa kabar berhari-hari. Hal ini cukup baru sih bagi saya karena biasa kerja di agency based sebelumnya. Jadi saya sering diminta untuk benar-benar solve problem, bukan solve visual saja saat kerja di startup sekarang ini. Entah itu karena dari komplain users ketika memakai produknya ataupun agar desain keseluruhan UI dan UX nya bisa lebih baik. Jadi benar-benar desainer banget gitu, benar-benar thinking. Bukan making/producing doang. Itu yang membedakan cara kerja desainer instan dengan desainer ngga instan. Kadang desainer non instan juga ngga jarang pas kerja malah serba instan karena kondisi perusahaan atau deadline ketat. Instan gpp sih, cuma bukan berarti ngga ada atau jarang ada solve problem yang benar-benar secara mandiri dipikirkan oleh desainernya gitu. Yang padahal itulah tugas sejatinya desainer. Jangan malah CEO nya yang mikir kalau ada yang kurang dari desainnya dan lalu koordinasi sendiri pada developernya, lalu diubah sendiri sama developernya dengan tanpa konfirmasi ke desainernya. Jadinya malah desainer tidak benar — benar bekerja secara sah. Hanya kerja di awal membuat visual saja. Dan akhirnya thinking dan solve problemnya kurang terlatih.
Awalnya lowongan di tempat saya kerja sekarang itu part time, hanya saja saya ditawarkan untuk fulltime. Saya bertanya pada interviewernya yang kebetulann CEO nya langsung sih, apakah karena load pekerjaan cukup padat? interviewer menjawab, “Not works, it’s about thinking actually.” Sangat berbeda ketika saya bekerja di agency-agency sebelumnya. Jadi apakah perusahaan yang menginginkan desainernya bisa koding rata-rata agency based? Rata-rata lho ya maksudnya, bukan mutlak semua. Jika memang begitu, saya rasa perlu dipertanyakan lagi, apakah projek-projek kliennya jika dikaitkan dengan culture perusahaannya mengutamakan solve problem atau kecepatan beresnya kerjaan yang dari beragam klien itu? Jika sekedar agar desainer lebih banyak kerjaan, sebetulnya dari thinking itu juga sudah nambah pekerjaan walau secara fisik tidak selalu keliatan. Tapi kan bisa saja kita dokumentasikan hasil riset dan thinking desainer. Membuat wireframe itu juga perlu mikir dulu, bukan seperti sketsa pohon! dan ngga cukup lho, hanya meminta desainer langsung membuatkan wireframe dulu. Seharusnya contohnya seperti ini permintaan dari PM/leader, “User responnya pada bagian ini merasa kesulitan menemukan fitur ini, tolong re design” dan biarkan desainernya mikir. Mau ngga mau, kita desainer harus mikir dulu, ngga bisa langsung sekedar re design, bahkan ngga bisa langsung bikin wireframe. Beda. Karena wireframe itu idenya sudah ada. Jadi sebaiknya desainer diberi tahu problem dan goals nya dalam suatu produk. Lalu lemparkan masalah itu pada desainer. Bukan mendikte atau berharap hasil visual saja. Memberi masukan dari leader, CEO dan posisi lainnya bisa saja seperti strategi metode Lean UX, namun tetap desainer seharusnya memiliki porsi paling banyak menurut saya. Disitu asyiknya jadi desainer kalau bagi saya pribadi. Berpikir. Seperti memecahkan misteri hehe…
Dan pastikan, jika memang desainer diharapkan bisa coding di suatu perusahaan, disampaikan juga pada desainernya secara jelas saat interview agar mereka ngerti pas ngelamar (jika di resume nya tidak tertera skill koding namun portfolionya menarik misalnya). Atau desainernya nanya saat ada kesempatan bertanya seperti saya tadi. Jadi sebelum mulai hari H kerja dan hari-hari selanjutnya akan cukup kebayang, dia sebagai desainer akan lebih banyak mikir daripada kerja teknis atau sebaliknya selama bekerja di situ. Kalau perusahaan tempat saya bekerja sekarang kan mengatakan secara insiatif kepada saya bahwa saya tidak perlu ngoding di sini dan alhamdulillahnya hal itu sangat dimengerti sekali oleh perusahaannya. Dan mengenai kesinkronan hasil koding dengan desain yang dibuat pada mockup juga selalu ada permintaan review dari PM ke saya, karena memang kerja remote kan. Jadi saya diberitahu link testing kodingnya untuk saya review. Jadi dalam hal ini lebih ke kerja team daripada sendiri atau masing-masing walaupun remote.
Jadi sebetulnya pro kontra apakah desainer harus bisa koding atau tidak, ya kembali pada kebutuhan perusahaan dan klien, goals serta culture perusahaannya bagaimana. Untuk secara pribadi desainernya sih ya bebaslah, tak ada yang berhak mengatur. Apapun kelebihan dan kekurangannya dari masing-masing pilihan tsb kita sebagai desainer sebaiknya harus tahu dulu. Sekian.
Buat yang baca, terima kasih sudah baca. Semoga bermanfaat (pesan terakhir standar tapi selalu kepake ya). Kalau ada pendapat baik itu soal pro ataupun kontra atau di antara keduanya dan cenderung objektif silahkan sampaikan di komen :)
Cheers!