Ketika empatimu kegedean ternyata itu fix karena bodoh

Windyasari Septriani
3 min readJun 27, 2024

Originally posted on Linkedin versi pendeknya, tapi saya copy paste juga ke sini.

Photo by Roman Synkevych on Unsplash

Saya sering koar-koar bahas empati, karena emang orang-orang koq rata-rata nir empati. Sempat baca soal judul di atas sih di artikel lain, awalnya denial, tapi dipikir-pikir bener juga, lho.

Duh jadi inget beberapa tahun lalu, kaya semua orang diladenin. Sampe-sampe kalo saya nanya balik.

Me: “Kenapa ngga nanya ke anu atau yg lain?”
Mereka: “Ngga berani, teh.”
atau
Mereka: “ke yang lain ngga dibalas, teh.” Itu sebelum ada platform mentoring kaya ADPList. Yang jawab ‘ngga berani’ itu sebetulnya sangat mengecewakan, lah kenapa ke saya berani. Tega banget. Jujur saya nyesel, walaupun jadi melahirkan ig tanyajawab_ux (terutama post awal-awal), itu rekap semua pertanyaan orang-orang. Tapi saya nyesel karena itu saya bodoh, ngga punya batasan. Maksudnya soal waktu dan tenaga serta informasi. Dan kenapa dijadiin akun juga kayanya saya mulai merasa rugi tanpa sadar, jadi ya jadikan aja akun. Kecuali kegiatan tsb ada dalam sistem walau misal free. Bukan random chat anywhere, anytime.

“People with high levels of empathy tend to have strong social, communication, and leadership skills. But empaths sometimes have a hard time setting boundaries between themselves and others.”

👆🏼👆🏼 btw abaikan kalimat pertama, baru nyadar kalimatnya muji-muji, coba liat kalimat kedua. Sumber:

Semakin dewasa, matang, pola pikir berubah. Dan baru bener-bener sadar akhir-akhir ini walaupun prosesnya tahunan untuk fix. Hati-hati kalau kamu merasa empatinya kegedean, tetep jaga jarak apalagi jika kerjaanmu lagi bagus. Beneran deh.

Saya berterima kasih sama yang mau pake cara-cara dalam sistem, walaupun free, seperti platform mentoring atau bahkan beli product yang saya jual. Walaupun misal lagi diskon. Sebetulnya nanya sekali-kali gpp, sayanya juga kadang bodohnya doyan kalau bidangnya saya geluti. Tapi emang ada yang sering banget, atau banyak banget. Ada juga sih yang sadar diri, udah nanya banyak di chat, lalu dia mention saya di Linkedin mengucapkan terima kasih. Sebetulnya bukan ingin diterima kasihin sih, tapi kalau bisa adjust aja kebutuhannya, ya kalau mau banyak minimal tahu diri memang. Kalau dulu kan sayanya memang bodoh, sebisa mungkin jangan malah dimanfaatin kalau nemu orang-orang bodoh kaya saya dulu, gitu lho.

Boleh nanya-nanya sama siapapun asal:

  1. Ada dalam sistem/naungan atau suatu fasilitas walaupun itu free.
  2. Tidak jalur pribadi banyak-banyak. Ini biasanya ada tujuan jangka panjang, tapi saya ngga sadar. Jadi ngga cuma case urgent gitu lho. Jadi dia invest waktu chat sama saya, tapi sayanya gelosor aja ngasih semua. Beberapa tahun lalu pastinya saya lebih ‘kekanak-kanakan’ dengan sifat saya seperti ini. Akhirnya ngga ada filter.

Sebetulnya di sisi lain, mereka bertanya saya juga appreciate bahwa berarti mereka percaya akan jawaban-jawaban saya, itupun sebisa mungkin konteksnya bukan kaya minta disuapin, tapi lebih ke tips, saran gitu, boleh aja. Bukan kaya minta resep bumbu bisnis orang lain, itu kan etikanya dalam berbisnis juga ngga boleh. Biasanya diduitin, bro yang kaya gitu.

Tapi kalau kebanyakan dan sering jadinya seperti penyatuan antara manusia bodoh dan orang yang ambil manfaat. Jadi kalaupun mau ambil manfaat, ambil yang emang dibagi-bagi sama orangnya aja, atau dari suatu naungan.

--

--

Windyasari Septriani

Product & Web Designer, mother of 2, Prev Depict.ai, mainteny.com, Bukalapak - ig @infodkv & tanyajawab_ux