Ketika empati tipis

Dengan pernyataan “Kalau saya/di kita ngga gitu, koq…”

Windyasari Septriani
4 min readFeb 14, 2022
Photo by Kyle Glenn on Unsplash

Saya penasaran apakah orang-orang harus punya sifat bawaan dengan empati tinggi dulu atau harus agak tuaan dulu untuk menyadari ini.

Banyak terjadi, apalagi di internet dimana kita dengan jauh lebih mudah bicara dan komentar tanpa pikir panjang, ketika ada artikel atau postingan yang isinya menggambarkan kondisi seseorang atau pun kelompok. Mostly saat kasusnya menggambarkan ‘ketidaknyamanan atau keresahan’, pokoknya yang ngga enak-ngga enak lah namun sebagai isu umum, bukan curhatan pribadi.

“Saya ngga gitu…”

Banyak contohnya ya, misal kalau dalam bidang pekerjaan tentang berbagai macam alasan orang resign. Biasanya alasannya yang ditulis di internet/post tentu cenderung yang negatif, which lebih relate ya, ketimbang yang positif. Nah, yang kebetulan punya pengalaman positif ini ngga perlu jadi tiba-tiba juga bilang, “Saya ngga gitu…”, itu kan elu, berapa banyak yang seberuntung elu? Apa ngga kepikir sedikitpun bahwa yang dimaksud postingan ini dilihat dari kasus kebanyakan ketimbang kemutlakan seseorang??

Tapi btw saya suka, dan memang platform yang satu ini dasarnya mulia dan penuh empati mungkin ya, di post instagram ADPList, ada post tentang berbagai macam alasan resign dan dipisah antara yang positif dan negatif, jadi adil, bukan meniadakan salah satunya, apalagi meniadakan yang jelas lebih banyak:

https://www.instagram.com/p/CZwlXisLdHf/?utm_source=ig_web_copy_link

Ada juga ketika post konten tentang realita kerja, likesnya juga padahal banyak belasan ribu, (tanpa maksud mentingin ‘likes’ banget) dan juga diiyakan di komen-komen, tapi ada aja yang pede menyatakan ‘tidak begitu’, tapi tentu pede ya karena komennya pas di platform lain yang sepi. Namun seharusnya orang dengan kemampuan analisa normal juga tahu kalau yang dimaksud itu bukanlah mutlak semua, karena bukan pembahasan matematika dan data berat. Contoh ringannya kan pada post jokes-jokes percintaan misalnya, jokes di sini bukan berarti bohong ya, tapi jokes untuk sama-sama merasakan kepahitan dengan cara menghibur, itu pasti diambil dari kasus rata-rata yang relate reaksinya ketimbang fakta dari cuma segelintir orang.

Ketika dicek orang-orang yang seperti minim empati ini juga ya tentu saja usianya jauh sangat. Tapi ya sudahlah, toh saya juga pernah muda, tapi saya ngga inget sih, apakah pernah sepolos itu dalam menyatakan sesuatu dengan meniadakan fakta kebanyakan hanya karena pengalaman pribadinya yang beda dan lebih positif sementara baru hidup lebih sebentar?

“Maksudnya, ka?”

Memang kalau saya perhatikan cara orang komunikasi itu dan cara orang hidup itu lebih banyak yang hampir tanpa empati ketimbang yang berempati tinggi. Kasus lain walaupun di luar judul, sih. Yaitu soal ketika jual beli. Istilah ‘Pembeli adalah raja’, memang bukan berarti juga kita sebagai pembeli menjadi gila hormat, tapi seharusnya penjual juga ketika meladeni ya ladeni saja, bukan jadi defense ketika ada pertanyaan dari pembeli yang belum jelas persoalannya apa (kecuali persoalan sudah jelas dan si pembeli memang aneh). Jadi misal ketika penjual ngga paham dengan pertanyaan calon pembeli, atau ada miskom (biasanya emang miskom sih), jangan jadi bertanya dengan kata-kata, “Maksudnya ka?”, disamain dengan ketika bicara dengan teman-temannya mungkin. Apalagi ketika yang dibahas terkait transaksi/mau beli tapi nanya-nanya dulu. Buat saya pribadi at least, itu seperti yang mulai curiga….kek ‘Maksud lo??’, asumsi saya begitu, juga mungkin bagi yang lain, walau aku ngga riset ya, ini kan soal pemilihan kata, jadi perkiraanku ini umum kalau soal pemilihan kata. Ya memang chat itu ada resiko tidak jelas dalam nada bicara, tapi kalau kecerdasan bahasanya lumayan, sebagai penjual ke pembeli sih harusnya ngga sesimpel itu ketika nanya ‘maksud’. Saya juga tau kalimat tanya tsb agak trend dan sering digunakan akhir-akhir ini, tapi kayanya kurang etis jika dipake ke pembeli yang ‘belum tentu dan jelas tidak macem-macem.’

Padahal ternyata ketika dilihat, ya ngga mencurigakan juga isinya. Pembahasan yang ini memang tidak terlalu terkait judul, tapi terkait soal empati tadi, pemilihan kata. Bukankah lebih etis jika kalimatnya, “Maaf maksudnya gimana ka?”, saya juga pernah jualan koq, masih malah, tapi mungkin entah karena kepanjangan, belum lagi jika memang ada kecurigaan juga atau ketakutan ditanya yang ngga dikehendaki. Ini pernah terjadi beberapa kali, salah satunya ketika saya sudah transfer ke toko di marketplace, dan konfirmasi via chat bahwa saya sudah transfer, lalu penjual malah nanya balik, “Maksudnya ka?”, sepertinya dia ke-skip/miss notifikasi transfer saya, untungnya tanpa harus saya jelasin atau tanpa harus screenshot, di marketplace tsb, ketika kita cek progress transaksi lalu klik chat, langsung terlihat progress transaksinya di dalam chat -_-’’

Hal ini juga berlaku ketika kita komentar dalam pekerjaan orang ya. Kalau dibahas banyak sih yang ancur cara dan pemilihan kata-nya. Sayangnya hal ini seringkali sama sekali tidak dikaitkan dengan SKILL KOMUNIKASI, malah mungkin yang lebih diperhatikan dalam SKILL KOMUNIKASI kerjaan malah yang introvert terutama yang ngga punya posisi (biasanya kalo introvert tapi punya posisi ya bicara-bicara aja sih karena lebih ada kesempatan dan keperluan yang jelas), ngga adil sih. Jadi yang lebih banyak diam diangap kurang skill komunikasi, yang cerewet dianggap bagus walau sering menyakiti. Menyakiti nya diskip. Waduh, emang yang paling adil itu pengadilan akhirat ya. Dunia ini banyak dimainin.

--

--

Windyasari Septriani
Windyasari Septriani

Written by Windyasari Septriani

Product & Web Designer (Remote), mother of 2, Prev Depict.ai, mainteny.com, Bukalapak - ig @infodkv & tanyajawab_ux

No responses yet