Cara orang yang bertahan hidup sebagai pemalas namun masih punya goals lumayan *The red flag

Windyasari Septriani
5 min readJun 29, 2024

Bukan soal judging, tapi berdasarkan realita yang mungkin lebih cocok kalau dilihat dari sisi psikologi.

Photo by Graham Holtshausen on Unsplash

Ini saya tulis agar orang-orang ngga sadar dengan telat seperti saya. Jadi saya memang pada dasarnya doyan sharing termasuk hal-hal yang saya alami yang dulunya sempat salah atau sulit tapi sudah solved atau disadari, sehingga ingin share agar orang-orang ngga ngalamin. Tapi mungkin juga itu karena terlalu empath, tapi minimal sharing itu masih aman asalkan harus peka apakah ini sharing atau nyuapin secara cuma-cuma. Berikut sekilas kutipan ciri dan cara jika kamu Empath di bawah ini.

Burnout from helping others and sharing their suffering

Set boundaries.

Limit how much time you spend dealing with the concerns of others. Learn how to politely say no. Not only will this help you avoid burnout, it can help those around you become more self-reliant.

Kalimat ‘Burnout’ pertama di atas pernah saya ungkapkan ketika live video (live satu-satunya-itupun tentu tanpa wajah, mumpung di akun sendiri) di akun IG tanyajawab_ux (now @designabroad_) ketika menjelaskan bahwa ADPLIistnya lagi ditutup dulu karena burnout, ternyata itu memang salah satu ciri Empath. Ya kirain sekadar empati berlebih aja, ngga sampai ciri-cirinya ke sana juga. Walaupun padahal ADPList itu sudah terstruktur, di bawah naungan/sistem dan ada batasnya. Yang paling ideal itu mentoring berbayar, ngga heran saya sampe nyiapain segala rahasia tanpa diminta kalau di situ. Walaupun bayarannya ya murah juga, namanya juga rate pasar Indonesia. Tapi kan bukan soal berapa, melainkan seberapa mau kamu effort dan berkorban dari segi etika. Kalau soal hasil tentu tetap Allah yang menentukan, tapi caranya itu lho ada yang kita dimanfaatin dan dihargai.

Nah, kecenderungan kaum Empath tanpa sadar dengan ‘nyuapin secara cuma-cuma’ itulah idaman para pemalas yang dimaksud pada judul di atas. Jadi ketimbang berusaha dan berdoa keras (berdoa juga butuh niat dan usaha untuk bisa mau ngobrol dengan Allah), dia lebih suka ‘berusaha’ lewat hasil jerih payah orang lain yang sudah pasti ada, sudah jelas hasilnya. Nah, biasanya ini tuh berbayar. Masalahnya mereka kadang juga bukan siapa-siapa kita juga, bukan teman pun gitu.

Beda dong, usaha sendiri dan berdoa itu, kita ngga bisa lihat hasil contohnya. Iman diuji banget, tentu beda pahalanya. Tapi karakter pemalas ini kaya kurang tertarik sama pahala karena belum jelas kaya apa. Dan didapatnya pun nanti kan setelah mati yang entah kapan, itupun harus nunggu kiamat dulu. Siapa coba yang tertarik kalau orangnya ngga belajar soal pahala ini? Jikapun ada bayangannya, itu hanya bisa didapat dengan belajar islam, seperti apa kira-kira wujudnya, itupun tidak akan sampai bisa 100% terbayangi. Berbeda dengan kaum duniawi mereka rajin dan semangat (entah berdoa atau tidak, entah gimana berdoanya), ya karena ingin hasil yang maksimal di dunia. Keputusan Tuhan tidak terlalu dianggap ‘hak prerogratif’, makannya bisa stress walaupun dia cerdas, pintar dan rajin. Nah, kalau kaum pemalas usaha sendiri pun memang ngga mau, minimal mau tapi bingung, sulit. Mungkin karena keterbatasan sifat dan potensinya ya memang segitu. Padahal masih bisa pake cara langit. Tapi udahlah, ribet kali bagi mereka.

Kenapa ditulis sebagai goals lumayan, karena mereka cukup sadar diri untuk ngga ingin goals yang sangat besar, minimal secara angka Rupiah/Dollar, tapi ngga mau kecil juga, ngeluh terus, tapi ngga imbang sama usahanya. Jadi kalau bisa inginnya hasilnya tetep di atas effort dia usaha, tapi juga gpp banget kalaupun ngga sampe menggila besarnya. Ibaratnya kalau UMR itu 4 juta dan ukuran gaji tinggi di profesi bidangnya itu bisa puluhan juta, dia gpp banget dapet 8–12 juta dengan tanpa harus cape sana sini, share ilmu sana sini dalam keadaan kesulitan tiap interview kerja. Sebetulnya ini ok, jika kamu gunakan cara networking yang benar, either itu ditawarin atau minta langsung (tapi kan butuh mental tinggi untuk berani minta, itupun harus sesuai etika dan situasi, ngga bisa minta gitu aja dan mereka tahu itu). Di sini ukuran ’Ok’ pun maksudnya masih sah, walau ngga fair kalau orangnya ngga mau juga asah diri setelah dapat akses spesial tsb.

Berikut biasanya kebiasaan orang yang malas seperti ini:

  1. Bertanya info penting yang sangat berharga tanpa kepikir bayar, jadi lewat jalur pribadi. Bukan bertanya tips, karena dia tahu tips itu melelahkan, tips itu artinya berusaha mengasah diri dan mengorek peluh dan gula darah serta energi. Sedangkan kalau ngorek info, dia hanya butuh cara. Dia ngga mau seberat guru/mentornya dalam berusaha.
  2. Tidak hanya sekali-dua kali menghampiri orang yang terlihat punya potensi keuangan (dalam hal ini bentuknya seperti guru/mentor) yang diharapkan bisa juga nular buat dirinya. Walaupun tidak secara personal seperti teman dekat. Apalagi sudah ada istilah mentoring, sharing, dia akan pake cara ini seolah dia adalah murid. Tapi terus-terusan secara free tanpa naungan apapun.
  3. Sekalinya dikasih projek kurang amanah, dan ketika ketauan kurang bisa beres dengan amanah malah agak defense, karena ya pada dasarnya malasan. Padahal sudah untung dikasih projek, walaupun misal projeknya tidak besar atau mungkin bisa jadi kurang diminati, tapi hal tsb tidak diperlihatkan. Intinya ngga bener aja, entah apa alasannya. Tapi yang jelas kalau pemalas biasanya begitu, sulit atur waktu yang penuh inisiatif karena hidupnya memang inginnya disuapi aja.
  4. Sekali dikasih, dia akan anggap yang ngasih tsb bagai ladang emas langganan yang bisa dikorek terus. Tentu kalau udah dapet, intensitasnya berkurang atau ya gimana caranya lah ngga sesering dulu. Ya ngapain juga kan “Halo, halo” kalau tujuannya sudah tercapai, sih. Tapi ya berarti sebelumnya benar-benar dia kejar target secara mudah, ngga mau cape.

Sisi baik

Sebetulna ngga ada sisi baik, tapi saya melihat karakter ini halus, lembut tapi bahaya. Bahkan lebih menyebalkan daripada tukang bully. Sudah sampai di titik ini. Kalau tukang bully ibarat dalam Islam yang tidak percaya islam tapi terang-terangan dimana ternyata hukuman akhiratnya lebih ringan, masih ada di atasnya kaum munafik, yaitu muslim tapi hatinya ngga. Nah, inilah yang dirasakan ketika membandingkan mana yang lebih bahaya antara orang yang bahkan biasanya ngga deket tapi suka manfaatin dibanding tukang bully. Tukang bully sudah pasti telanjang kejahatannya walaupun bisa dibalut keren dengan uang juga sih. Tapi dia jujur-jujuran ngga suka walaupun nendang kita. Karena dia anggap kita ngga penting sekalian, jadi ngga ada tuh manfaatin kita. Ngga suka aja, titik. Walaupun ini tentu sangat dzalim juga. Ya intinya bisa ngga sih kita jadi normal aja?

Hati-hati menjadi empath ada resiko berkaitan dengan dua orang ini. Bisa dihindari asal sadar akan apa yang harus dilakukan sebagai Empath.

--

--

Windyasari Septriani

Product & Web Designer, mother of 2, Prev Depict.ai, mainteny.com, Bukalapak - ig @infodkv & tanyajawab_ux