Belajar ilmu apapun termasuk desain, harus dengarkan yang mana

Kriteria sumber ilmu terutama di era digital saat era informasi semakin melimpah

Windyasari Septriani
4 min readSep 16, 2021

--

Photo from Pexels

Dalam menerapkan kehidupan ini, seperti hal nya dalam bekerja, kita harus ada SOP (Standar Operasional Prosedur) atau pedoman. Sebagai muslim tentu saya berusaha berpegang pada nilai-nilai aturan dalam Islam. Terlepas dari kondisi terpecah belah di dalamnya, kita ngga akan bahas itu. Jikapun kita malas, ngga doyan hal-hal religius, tapi fakta bahwa sesuatu yang lengkap ini (baca: Islam) yang saya yakini memang beneran lengkap. Susunan tata surya dan alam semesta saja sudah terlihat lengkap dan detail apalagi cuma untuk ukuran membuat aturan hidup manusia yang dimana manusia ukurannya termasuk kecil jika dilempar ke angkasa.

https://giphy.com/gifs/esahubble-mBqzFW7pN5G5a6hp5G

Aturan dan kriteria tsb salah satunya dalam mengambil ilmu. Dalam hal ini saya berpegang pada beberapa perkataan para ulama, walau tentu konteksnya adalah ilmu agama, tapi nanti saya coba tulis bagaimana diterapkan pada ilmu dunia. Saya mengutip dari website muslim.or.id dan kalau ada dari pembaca yang ngga suka bisa diskip, tapi di sisi lain justru ada esensi yang akan saya hubungkan ke ilmu dunia setelahnya nih;

Ibrahim An Nakha’i rahimahullah mengatakan:

“Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memperhatikan dulu bagaimana akidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan-nya, no.434).

Dari penjelasan beliau di atas, secara garis besar ada 3 kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih guru atau mengambil ilmu dari seseorang:

Akidahnya benar, sesuai dengan akidah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya

Ilmunya mapan, bukan orang jahil atau ruwaibidhah. Diantara cerminannya adalah cara shalatnya benar, sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Akhlaknya baik << ini yang suka diskip oleh ilmu dunia

Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah berkata :

“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa’ (ahlul bid’ah) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan”

Sumber: https://muslim.or.id/47202-selektif-dalam-menuntut-ilmu-agama.html

Dalam ilmu dunia, tentu Islam membolehkan mengambil ilmu dari orang non-muslim (sumber: Psikologi Islam karya Raehanul Bahraen), selama tidak menyalahi syariat Islam. Tentu saja termasuk ilmu desain. Hanya saja tak jarang kita abaikan dalam memperhatikan akhlak atau attitude dari pemberi ilmu tsb.

Tapi bagaimana jika ilmu dia memang valid? bahkan terbukti memiliki posisi penting terlepas dari bagaimana orang itu mendapatkan posisi? (kalau bingung lihat saja para koruptor). Nah, masalahnya jika attitude dia tidak baik, sehari-harinya, dll maka dia sangat bisa untuk memutarbalikan fakta, manipulatif dan berbohong atau menyerang, iri dengki demi kepentingannya. Setinggi apapun ilmunya. Karena kalau kita bisa dan boleh abaikan itu, maka koruptor itu tidak akan ada hanya karena dia sekolah tinggi dan punya jabatan. Tentu hal ini sadar atau tidak sering kita abaikan dalam ilmu dunia. Jadi hanya diilihat dari sisi dunianya saja barometernya.

Ini juga adalah PR bagi saya, agar bisa terus konsisten dalam perkataan. Apakah saya bisa dipercaya attitudenya? tentu sifat kurang baik ada pada tiap orang, tapi seberapa parah? itu yang harus saya jaga. Terus terang bagi saya yang dulunya tak kenal sama sekali agama, -hanya saja memang tidak penah nyinyir sih dari dulu- sebrutal apapun hidup saya, bagi saya itu berat untuk bangkit dan jadi lebih baik (baca: berusaha shalihah, ini berat). Saya pernah bilang ke adik saya ketika mencoba memberi nasihat, karena kami sudah tidak punya orang tua sejak dini, jadi kakak-kakaknya sering menasihati adik dan itu sudah biasa.

Bahwa, “Jaga sikap, dan cobalah untuk lebih bisa liat situasi dan kondisi ketika berkata dan berbuat, karena saya juga (kakaknya), jika terlalu mengabaikan agama -walaupun juga tergantung karakter masing-masing, sih-, bisa jadi lebih buruk dari orang-orang sekitar, bisa jadi orang-orang yang menyakiti saya habis mati. Tapi saya tahan semua karena ada SOP tadi. Maka ngga bisa kita hanya mengikuti nafsu saja, hanya karena ingin puas dan menang. Dan bahwa pedoman hidup ini (baca: islam yang benar) bisa sangat menolong dan menahan orang dari keburukan.” -dan bahwa kalau ada apa-apa kuncinya doa untuk menghalau kita dari kejahatan.

Contoh: kita aslinya doyan debat, karena misal lagi di posisi benar. Tapi dalam Islam debat itu harus dihindari kecuali memang forumnya resmi dan debat murni, bukan debat ingin menyerang. Walaupun orang akan mengira kita kalah, tapi kita pilih untuk mengakhiri debat.

Jadi untuk ilmu dunia, sebaiknya kita lihat attitude kesehariannya. Secara keseluruhan. Bagaimana jika kita tidak kenal? Itu lain soal, tapi jika kita dari socmed nya saja sudah terlihat buruk dan terang-terangan bangga dengan keburukannya bahkan seperti tidak peduli atau tidak sadar bahwa itu buruk, yah bagaimana kita bisa mengambil ilmu darinya hanya karena latar belakangnya keren, apalagi kalau latar belakang nya ngga ada alias anonim. Sementara jika attitude buruk, dia sangat bisa memanipulasi menggunakan ilmu plus nafsunya. Memang saya juga berjuang untuk menjadi lebih baik. Tapi semoga bisa membedakan mana ‘No body’s perfect’ dengan ‘gawat’. Jangan tertutup dan terlena mata kita dengan indahnya sisi duniawi/harta saja. Karena koruptor pun kaya, belum lagi kesalahan-kesalahan para pejabat lainnya yang bukan berupa korup kan?

--

--

Windyasari Septriani

Former Product Designer, mother of 2, Prev Depict.ai, mainteny.com, Bukalapak - ig @infodkv & tanyajawab_ux