Illustration by me.

Bahayanya jika para ‘Visual Maniac’ pernah atau masih ada yang memegang kendali atas Product Design Team

Windyasari Septriani
7 min readSep 12, 2019

--

Dari judul sudah jelas ya. Tidak perlu banyak bacot sebetulnya untuk menjelaskan secara detail. Tapi berhubung saya lagi pengen agak sedikit ngebacot juga melalui tulisan hehe, jadi ya udah tulis aja, sih. Tulisan ini berdasarkan pandangan dan pendapat saya pribadi aja yang diharapkan bisa jadi gambaran atau saran untuk kita sendiri, team kita sendiri, perusahaan kita sendiri, hidup kita sendiri. Jadi tujuannya bukan untuk ngomongin orang, kelompok, dll.

Gini sih, saya sendiri boleh dibilang orang visual, kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual (angkatan berapanya, kemungkinan yang baca akan tercengang, jadi udahlah…monmaap yang lebih senior dari saya, tidak ada maksud…tapi kenyataan di industri digital ini kebanyakan younger than me). Otomatis pekerjaan saya awalnya visual banget, grafis banget. Pekerjaan pertama saya posisinya Junior Art Director di sebuah advertising kecil. Tapi, desain website pertama saya terjadi di perusahaan itu juga. Waktu itu kliennya untuk website pipa Wavin. Sisanya ya bikin brosur, billboard gimana layaknya kerja di advertisinglah. Bahkan, hingga sekarang saya masih ada pekerjaan yang berkaitan dengan desain grafis, karena perusahaannya kecil dan saya satu-satunya designer, maka ada lah itu kerjaan bikin logo contohnya. Walau saya paling ngga suka sih bikin logo, tapi saya masih enjoy karena 95% pekerjaannya masih di UI/UX. Nah, jadi passion saya itu ya di UI/UX daripada grafis. Itu udah terasa sejak sekitar 2010 (busyet 👵🏻).

Saat itu istilahnya masih banyak pake nama ‘Desain Web’. Saya lebih suka ngedesain website daripada poster, brosur, logo dll. Filenya lebih ringan dan ngerjainnya lebih cepet (secara teknis, karena dulu belum terlalu banyak istilah UX-UXan di Indonesia). Dan kalau yang saya rasakan, karena UI/UX juga tidak terlalu banyak bermain di area subjektifitas alias seni seperti desain grafis. Saya pikir ngedesain kaya gitu akan lebih jelas. Walaupun desain grafis juga ada riset dan bukan seni 100%, terutama buat logo dan iklan dan diajarkan saat kuliah risetnya gimana, tapi tidak sekrusial bidang digital, karena output desainnya bakal dipake, bukan sekadar dilihat atau dibaca doang. Minimal kalopun si produk atau perusahaan ngga ada budget buat riset, kita harus punya empati yang kuat dan cara berpikir dengan logika yang baik ketika mendesain. Dan saya rasa hal itu tidak terlalu kentara di desain grafis.

Namun kalau saya perhatikan ada juga memang orang-orang di industri desain digital product ini yang lebih condong doyan ngegrafis tapi pengen juga berkecimpung di bidang UI/UX. Cuannya lebih kenceng mungkin. Biasanya mereka ‘keukeuh’ lebih suka fokus di bagian UI nya aja ketimbang ngurusin UX nya. Dan menurut saya ini sah-sah saja, asalkan….orang seperti ini tidak memegang kendali atau memimpin UX team. Well…sebenarnya bisa-bisa aja sih, tapi..ada tapinya lagi..nanti saya jelasin abis ini. Ngga kalah bahayanya juga jika yang memegang kendali misal orang marketing (biasanya leader divisi marketing yang punya bawahan designer grafis yang merangkap ngerjain UI/UX, kalo bawahannya hanya ngerjain grafis doang sih masih make sense). Atau yang memegang kendali punya background Researcher yang ngga terlalu paham sisi desain tapi punya taste visual yang cukup tinggi atau sadar selera lah. Sehingga ego selera visualnya dilimpahkan ke produknya, usability gimana nanti.

Jadi design leader yang ideal gimana? kek elu maksudnya?

Astagfirulloh, tentu bukan. Saya sangat nyaman sebagai indivual contributor, saya belum siap atau ngga akan pernah siap melepaskan software desain begitu saja LoL. Bodo amat sama umur, namanya juga individual contributor. Sebenarnya menurut saya siapapun, apapun backgroundnya bisa banget memegang kendali atau memimpin product desain team. Asalkan…..dia bisa mengalah pada ego skill desain visualnya, ego taste visualnya, ego passion visualnya, ego untuk sadar diri betapa awamnya dia soal desain (misal dia marketing atau CEO). Lalu apakah visual tidak penting?? PENTIIING!….jadi bukan ngga penting maksudnya. Semakin produk besar, tentu saja visual semakin penting apalagi kalau ada saingan berat. Tapi jangan jadikan sisi visual nomer 1 diatas usability, baik secara sadar ataupun tidak. Apalagi terburu-buru ingin redesign tampilan. Ini bahaya. Apalagi kalau usernya banyak. Sumpah, itu tuh bahaya banget, percayalah apa kata orang tua haha LoL…yah walaupun saya ngga punya jabatan sih. Maksudnya….hey, ini untuk siapapun yang baca aja sih, tak peduli kerja dimanapun lho. Mau besar ataupun kecil perusahaannya. Ngga setuju juga gpp sih. Bukan politik, sans aja.

Kalo punya duit pisahinlah UX dan UI Designer

Ini bukan sekadar buat gaya doang. Ini penting untuk bisa lebih fokus di usability productnya. Ya kecuali kaya tempat kerja saya sekarang. Mau ga mau ngerangkaplah. Mening ngerangkap daripada perusahaan ngga pernah lahir, ya kan?. Ya kita bisa maklumi untuk kondisi perusahaan-perusahaan yang ‘UX Team of One’ kaya saya sekarang ini. Tapi saya heran, apa alasan perusahaan besar jika ada yang tidak atau belum memisahkan 2 hal ini. Jangan sampai karena pimpinan tidak terlalu paham sisi desain maka dianggapnya UX dan UI tidak terlalu signifikan perbedaan scopenya bahkan untuk perusahaan skala besar. Kalau memang ingin bagus secara visual (banget-bangetan), ya menurut saya wajib banget dipisah antara UI dan UX (apapun nama titelnya), kecuali perusahaan kecil. UX Researcher beda lagi lho ya. Tentu kalau perusahaannya besar kan team nya banyak tuh, tiap team, kebutuhannya bisa beda-beda memang. Tapi minimal available lah 2 posisi itu, apapun title nya. UI bisa disebut Interaction, UX bisa disebut Product. Intinya ngga cuma designer dan researcher doang. Apalagi kalo jobdesk researcher sampe harus bikin wireframe dan flow secara ekslusif LoL, aku heran. Apakah sesulit itu UX sampe ngga dikerjain desainernya. HR tentu ngga ngerti soal ini saat pengaturan job desk dan biasanya posisinya di bawah leader teknis secara mental, ya karena ngga ngerti bidangnya itu, kecuali di luar negeri ada memang HR khusus recruiting UX.

User banyak itu anggap aja bagaikan mengejar ‘Gebetan Idaman’

Jadi adalah penting dalam memilih leader Desain bahkan sejak perusahaan awal berdiri kalau bisa (biar ngga ada pengaruh-pengaruh lagi ke depannya walaupun sudah diganti, jika si leader dan antek-anteknya itu masih ada, itulah kenapa judulnya pake ‘Pernah’, karena takutnya masih ngomporin atau nyelip). Dan sebaiknya dia paham juga peranan research dan desain pada porsinya masing-masing serta mampu meninggalkan ego pribadinya, seperti taste pribadi atau cenderung kurang sabar dalam bersaing dengan kompetitor tapi implementasinya malah bagaikan seorang cewek yang ingin terlihat cantik di hadapan gebetannya, padahal saingannya selain cantik, ternyata baik pula. Nah urusan ‘baiknya’ ini gimana ntar, entah dia sadar ataupun ngga, yang penting gebetannya tertarik dulu sama fisiknya. Ini bahaya, kak. Mungkin sesaat sang gebetan akan tertarik tapi lama-lama nyadar juga dengan kekurangannya dimana yang ternyata lebih penting pengaruhnya.

Trus yang UX team of one, bagaikan apa dong? otomatis bukan perusahaan besar kan dan saingannya berarti ngga terlalu ketat, atau belum ketat. Jadi,….perumpannya seperti ini;
* Perusahaan besar memiliki gebetan idaman a.k.a user banyak
* Perusahaan kecil masih memiliki gebetan biasa a.k.a user masih sedikit atau belum capai target

Usaha dan kebutuhan fokusnya juga berbeda, kak. Perusahaan besar kalau mau narik gebetan idaman alias user yang banyak, strategi antara menata kecantikan dan hati & otak itu bener-bener mesti dipikirkan secara masing-masing biar lebih fokus. Jadi bukan, gpp ngga terlalu baik, yang penting cantik dulu atau sebaliknya, toh dalam banyak kasus akhirnya kecantikan nomer 2 atau relatif. Ingat ini, terutama untuk yang usernya banyak, mereka adalah idaman, butuh effort yang lebih fokus untuk meraihnya, kecuali ngga ada saingan yang berarti. Ini sesuai lho dengan sebuah video yang pernah saya share di instagram story kemarin, cuma ngga mau saya kasih tahu detailnya karena ngga mau terlalu menjurus ke suatu hal. Yang pasti di video itu bilang kira-kira, “Ada cara yang lebih efisien -untuk menghindari hal yang lebih buruk-, yaitu membagi pekerjaan yang besar jadi lebih kecil.”

Tentu jika ada kekurangan dalam suatu hal di tempat kita bekerja, speak up diperlukan. Hanya saja kadang karakter kita, penampilan kita, jabatan kita -walau ngga selalu juga sih- dapat menentukan apakah speak upnya works atau ngga. Belum lagi kelakuan dan kultur asli dari para karyawannnya termasuk manajemen. Lokasi kerja juga menentukan kalau tidak merata penyebarannya. Kadang manusia ngga sempurna ya,….misalnya bisa mikir, punya pengalaman tapi ngga bisa berpolitik atau belum tau gimana caranya menyampaikan suatu hal yang benar sebagai masukan terlepas dari siapa elu, supaya bisa didengar gitu. Kadang keadilan dari yang Maha Kuasa biasanya akan ada pembuktian, misalnya dari yang posisinya lebih berpengaruh menunjukan bahwa ucapan atau sharing kita benar, tapi bisa jadi kondisinya sudah terlambat.

Yah, minimal kita sebagai pribadi individu, mungkin barangkali suatu hari akan ada yang jadi leader dari pembaca, sadar betul gimana biar ego skill pribadi kita ngga sengaja dibuat dominan pada team nya. Jadi ngga memaksakan agar team nya ini ngikut skill dirinya. Skill kelemahan nya malah dikesampingkan, dilempar ke team lain, jangan! Kan jadi leader, kenapa mesti khawatir kalo kita ngga punya skill teknis yang lengkap, ya kan? Atau malah jadi ngedrive untuk ngikutin taste kita, lainnya urusan belakangan. Padahal taste kan ya taste, tapi usability nya gimana.

Tapi…

Tulisan ini bukan untuk membenarkan UI yang jelek atau kurang profesional. Itu lain soal. Kita harus bisa tetep bisa belajar terus dan dapat mengerjakan antara keduanya karena kebutuhan pasar itu sendiri. Kita ngga tau kapan harus kerja di tempat besar dan tempat kecil -tapi belum tentu duitnya kecil-yang butuh designer untuk merangkap keduanya (bahkan kadang merangkap grafis juga). Jadi disesuaikan dengan kondisi dan level perusahaan.

Setelah saya tulis sampe sini, saya sengaja scrolling twitter saya bagian ‘likes’ untuk cari twitt yang mendukung tulisan ini. Dan ini yang saya temuin:

About UI/UX
paan si’?
This is especially for big companies who have budget but with only one Product designer in every single team or two teams!

--

--

Windyasari Septriani

Former Product Designer, mother of 2, Prev Depict.ai, mainteny.com, Bukalapak - ig @infodkv & tanyajawab_ux